Panggil Aku Kartini Saja


Judul Buku: Panggil Aku Kartini Saja
Jenis Buku : Biografi
Genre: Nonfiksi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Cetakan: 5, Februari 2010
Bahasa: Indonesia
Tebal Buku: 304 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 15 x 22,5 cm
Website resmi/email Penerbit: –
No ISBN : 979-97312-11-6
Harga buku : 50.000-
Sinopsis:
Biografi ini mengajak kita untuk mengingat sosok Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestik—rumah tangga. Seperti kisahnya yang menjadi seorang gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan, kemudian meninggal. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan arus kekuasaan besar penjajahan feodal dan Belanda dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun.
Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan beliau tuliskan segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Hasilnya luar biasa, selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai negeri di mana asal dan akar segala kehancuran manusia Pribumi terjadi. Pramoedya Ananta Toer merekam itu semua dengan tajam dan penuh pesona yang kemudian membedakan dengan uraian dan tafsir mana pun atas sosok Kartini.

Review:
Dalam bukunya “Panggil Aku Kartini Saja”, Pram sengaja tidak menyuguhkan cerita yang digambarkan secara sastra seperti buku-bukunya roman “Tetralogi Buru”. Buku ini ditulis dalam bentuk biografi. Kali ini tokohnya adalah Kartini. Gadis Jepara. Beliau yang dikenal sebagai pendekar bangsa untuk kaumnya, memberi inspirasi terhadap perjuangan kaum wanita dan kepada bangsa pribumi yang kelak bernama Indonesia.
Pengetahuan kita sebelumnya mengenai Kartini, adalah gadis pingitan keluarga ningratnya yang lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan kemudian meninggal. Namun kali ini bukan itu yang akan menjadi bahasan dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”. Kata-kata judul itu asli dari tulisan tangan Kartini dalam menulis esainya yang diterbitkan di media massa pada waktu itu. Tulisan itu tak hanya mengaung di negeri pribumi ini namun juga menggemparkan negeri penjajah di sana. Pramoedya menggunakan kata “Panggil Aku Kartini Saja” lebih memfokuskan pada siapa sebernarnya dibalik sosok Kartini ini, apa yang ia perbuat untuk bangsa, misi apa yang dibawa Kartini bagi kaumnya. Hal itu terangkum jelas pada penelitian yang dilakukan Pramoedya dalam buku ini.
Pramoedya mengumpulkan data-data researchnya dari perpustakaan museum di Jakarta dan Arsip Nasional berikut putra dari R.A Kartini sendiri, Raden Mas Soesalit. Agaknya penelitian buku ini meninggalkan jejak kelam kerena seharusnya buku “Panggil Kartini Saja” terdiri dari empat jilid namun lagi-lagi ketakutan penguasa waktu itu, terpaksa aksi vandalisme terjadi lagi, yang selamat hanya dua jilid yang sekarang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”.
Di dalam buku ini, murni adalah pemikiran Kartini sebagai pribumi terhadap kungkungan penjajahan Belanda, dan penindasan feodalistik yang dirasakannya—padahal Kartini adalah keturunan Priyayi ningrat. Di buku ini Pram, hanya sebagai “tangan panjang” Kartini yang melakukan dokumentasi sejarah apa yang terjadi pada kehidupan Kartini di tengah-tengah kemelut budaya feodal dan penjajahan Belanda kala itu.
Sederhana namun sangat jelas. Bahwa Kartini menolak tradisi feodalisme dalam bentuk apa pun—meski ia hidup di dalam keluarga feodal. Buku “Panggil Aku Kartini Saja” ini sarat akan nurani Kartini yang ingin dianggap sama, sederajat dengan kaum pribumi, alih-alih dia seorang keturunan ningrat namun Kartini enggan dipanggil dengan sebuatan Raden Ajeng, Raden Mas Ayu, atau panggilan ningrat lainnya, baginya dirinya adalah sama sederajat dengan kaumnya pribumi, jadi, nuraninya ingin dipanggil dengan sebutan Kartini saja, sama seperti perempuan pribumi lainnya, tanpa gelar, ataupun status sosial. Apalagi terhadap penjajahan Belanda yang sewenang-wenang terhadap kaum pribumi sepertinya. Beruntung Kartini bisa mengenyam sekolah karena beliau anak keturunan priyayi, yang pada waktu itu sekolah dibangun bukan untuk tujuan pendidikan pribumi namun untuk sekolah para eksklusif kaum penjajah dan kaum feodal yang “setali tiga uang” dalam berbagi kekuasaan, dan pendidikan. Sementara pribumi ditelantarkan dalam kebodohan. Namun semua itu berjalan tanpa disadarinya dan praktiknya disengaja penguasa waktu itu. Tak lain tak bukan semua ini memang terencana, agar bangsa pribumi terus dalam kebodohan dan dengan begitu mereka tidak akan bisa melawan penjajah.
Namun agaknya pengetahuan perihal “Kebodohan yang disengaja” tersebut sudah diketahui Kartini. Kartini yang sudah dini menguasai bahasa Belanda, menggunakan bahasanya itu untuk berkomunikasi dengan temannya orang Belanda juga, begitu juga kawan-kawannya Eropa, hingga mereka takjub masih ada orang pribumi yang pandai retorika dalam bahasa Belanda begitu juga menulis. Oleh sebab itu, Kartini bertekad “memintarkan” bangsa dan kaumnya dari penjajahan Belanda waktu itu.
Kartini yang tanpa massa, pasukan, ataupun uang berusaha menyadarkan pribumi dengan membaca dan menulis, beliau tulis apa saja permasalahan kaum pribumi lalu dikirim ke media massa waktu itu, dan tak hanya pribumi saja yang tahu, karyanya dimuat namun kaum penjajah pun mengetahui sepak terjang Kartini dalam tulisan dan komentar-komentarnya mengenai penjajahan. Hanya satu yang dicita-citakan Kartini, yaitu mengangkat derajat kaum pribumi yang sudah terlalu lama di injak-injak kaum penjajah, dan kaum feodal.
Meskipun Kartini hidup di tengah-tengah kaum Feodal yang mengungkungkan (baca: dipingit). Hal itu tak menjadi halangan untuk melanjutkan sekolah. Bacaan yang mempengaruhinya adalah Max Haveelar, Multatuli karena isinya tentang kaum pribumi yang ditindas oleh sistem tanam paksa waktu itu. Mulai dari situlah, Kartini membela rakyatnya dengan tulisan, buku-buku yang dikarangnya “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah buku yang diminati tak hanya kaum pribumi pada waktu itu, namun kaum Eropa juga disibukkan dengan membacanya, dan segala penjualannya digunakan membangun yayasan dan sekolah. Visi dan misi Kartini sudah jelas, yaitu kelak rakyatnya harus menjadi pemimpin bangsa ini, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan kemajuan pendidikan, salah satunya dengan mendirikan sekolah bagi kaum pribumi.
Pertama-tama, muridnya adalah kaum perempuan. Karena pada zaman itu kaum perempuan sangat didiskriminasikan oleh kaum feodal yang Patriarki. Hal itu karena pemikiran dangkal para Partriarki, bahwa Perempuan hanya “kanca wingking” alias teman di belakang berurusan dengan hal rumah tangga, meladeni suami, mengurus anak jadi menurut mereka—Patriarki, mengecam perempuan dan mempertanyakan eksistensi perempuan dalam pendidikan. Pemikiran picik seperti itulah yang membuat Kartini prihatin terhadap kaumnya. Dan berusaha membalikkan keadaan tersebut.
Perjuangan Kartini yang mengangkat derajat kaum pribumi mendapat sambutan luar biasa dari kalangan aktivis pergerakan pada waktu itu dan para pendidik kamu pribumi, mereka adalah kerabat dekat Kartini juga, yaitu Ayahnya, R. M Adipati Ario Sosroningrat, dan abangnya tercinta R.M Sosrokartono. Keduanya memberi semangat kepada Kartini untuk selalu belajar dan berguna bagi negerinya dan mendukung didirikannya sekolah rakyat pada waktu itu khusus untuk pribumi.
Hal yang paling inti dari perjuangannya yaitu membangkitkan emansipasi perempuan di kalangan pribumi, dengan begitu perempuan juga boleh berorganisasi, berpolitik sepertihalnya laki-laki. Ide tersebut didukung oleh kawan-kawannya Eropa, salah satunya Estelle Zeehandelaar, yang berjiwa merdeka di negeri Belanda.
Buku ini berisi latar belakang Kartini, bagaimana konflik dengan keluarga mampu dilaluinya dengan tabah meskipun ayahnya terlalu ketat mendidiknya, namun Kartini mencurahkan rasa sayangnya amat sangat terhadap ayah satu-satunya itu. meskipun Kartini dipingit, namun tak ada kemarahan di hatinya, justru dengan tekanan batin tersebut maka ia berusaha bangkit, menulis kegelisahannya, berjuang membela hak-haknya sebagai kaum perempuan pribumi yang disadari ataupun tanpa disadari, kaum perempuan pribumi masih terbelenggu oleh dogma feodalisme dan penjajahan Belanda. Dalam keterpurukan itu, Kartini berteriak melalui tulisan “diary”nya dan di suatu hari tanpa diduga gaungnya sampai ke negeri seberang, negeri penjajah dan hal itu memberi semangat terhadap dirinya dan kaum perempuan pribumi.
Buku ini juga mengandung ide-ide terobosan dari Kartini dalam perjuangannya membela kaum perempuan yang selama ini tak dipandang, dikaji lebih dalam. Rasa nasionalisme suci Kartini mampu mengantarnya ke panggung internasional, bahwa perempuan juga bisa berpikir layaknya laki-laki, dan hal itu membuka mata dunia internasional yang selama ini terkungkung dogma Patriarki. Otomatis ide-ide tersebut mampu menjadi inspirator bagi kaum pribumi. Salah satu idenya adalah, Kartini mempromosikan hasil kerajinan anak pribumi, ukiran Jepara yang khas. Tuliian Kartini tentang ukiran Jepara mampu menembus pangsa pasar Eropa, dan hasil kerajinan ukiran Jepara banyak diburu orang Eropa, yang berdampak positif bagi perekonomian pribumi waktu itu. Tak berhenti di situ, segala kasus apa pun yang menimpa kaum pribumi Kartini berusaha angkat melalui penulisan dan dikirimkan ke media, alhasil banyak karya Kartini dimuat dan dibaca. Dari situlah Kartini ingin membuka mata Internasional, bahwa anak-anak Pribumi mampu berbuat sesuatu, mampu menghasilkan sesuatu meski kehidupannya dalam penindasan. Dari tulisan Kartinilah, banyak negara-negara Eropa yang simpati dan mendukung antidiskriminasi dan mengecam penjajah Belanda.
Bahasa yang digunakan Pram menggunakan bahasa formal, jernih dalam menjadi “tangan panjang” pemikiran Kartini. Penelitian yang detail dan rinci ini mampu memberikan informasi yang akurat bagi pembaca bahwa sosok Kartini tidak hanya berkutat pada dunia “pingitan” namun sadarlah bahwa ada misi suci dari Kartini dalam melawan penjajah Belanda dan kaum feodal yang mengangkangi ratusan tahun kaum pribumi. Itu semua menurut Kartini hanya satu penyebabnya yaitu, kebodohan. Maka dari itu satu terobosan lagi yang dilakukannya adalah mendirikan sekolah agar anak didiknya sanggup membaca dan menulis sehingga tak ada yang bisa menipu mereka lagi. Lebih tepatnya menipu harga diri martabat mereka sebagai kaum pribumi.
Buku ini meskipun sayang tidak lengkap, hanya dua jilid namun semoga mampu menjadi pencerahan bagi pembaca yang menginginkan kemajuan di bidang apa saja. Sepertihalnya kemajuan di bidang perempuan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh perempuan di tanah air, sebut saja Fatmawati, Megawati, Ainun Habibie, yang ketiga menjadi motor penggerak pemikiran perempuan di bidang politik yang mampu menggerakkan arah bangsa melalui pemikiran-pemikiran mereka. Pesan penting Kartini kepada kaumnya,”Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” ujar Kartini.

Tinggalkan komentar